Tuesday 28 June 2022

 

Kebersamaan Dalam Rentangan Sejarah:  Karakter

Kegiatan Pendidikan

 

                                                      

 

Abstract:

 

This paper explains that in terms of process, education is a mature effort that marks the success or generation of its success include a change of behavior. But in terms of sociology, education is the effort of a generation and pass on cultural traditions and ways to develop the successor generation. In this regard it isessentially the same education history with the history of cultural inheritance between generations. This applies to various levels humans, whether individuals, groups, communities, tribes, or nations. Tradition and culture in generalrely on view live together. In Indonesia with a view of life so it is Pancasila. Proportionally when the history of education in Indonesia since independence, and instead of before, until now, various factors and educational activities are always associated with religious values. Because the first foundation of the nation and state in the Pancasila is prefixed with the Belief in God Almighty.

 

Key Words: Sunnatullah, History, Education

 

A.  Pendahuluan

Kebersamaan sejarah sebagai catatan peristiwa yang bersumber pada kehidupan kolektif manusia, pada hakikatnya hanya mencatat hal-hal yang besar dan bermakna bagi kehidupan ummat manusia. Walau tak terhindarkan peristiwa besar bermakna tersebut kadangkala hanya menurut sekelompok kecil manusia yang berkuasa, dan karenanya terkadang merugikan kelompok besar manusia lainnya, namun ide di belakang kelompok kecil tersebut menurut mereka atau pada saat kejadian berlangsung, dianggap sebagai perbuatan kebajikan untuk sesamanya atau orang di luar kelompoknya. Tentu saja berbuat dan memperta hankan kebajikan, harus bersinggungan dengan yang belum atau tidak bajik, yang kemudian hal itupun di catat pula. Terdapat beragam motivasi mengapa manusia berbuat bajik. Motivasi paling rendah adalah karena keinginan melaksana kan kejahatan, sementara motivasi terbaik adalah lantaran yang bajik tersebut memang secara objektif bernilai baik. Dalam keyakinan Islam, Allah merupakan sumber kebaikan dan kebenaran, karena itu motivasi terbaik tersebut sesungguhnya merupakan refleksi dari keimanan atas kebaikan dan kebenaran dari Allah SWT. Inilah hakikat makna manusia hidup bersama Allah.

Indikator kebersamaan Allah dengan orang taqwa dan berbuat baik ditandai oleh beberapa hal. Namun yang paling penting di antaranya adalah adanya keberimanan pada Allah yang direfleksikan dalam bentuk integritas kepribadian yakni moral personal berupa konsistensi keyakinan hati dengan ucapan dan perbuatan, yang biasa disebut iman. Kemudian diikuti dengan integritas sosial yakni moral public yang berupa upaya optimal bagi implementasi nilai-nilai pribadi dalam kehidupan sosial, yang biasa disebut amal shaleh, sambil tetap dibarengi dengan saling mengingatkan kebenaran secara terus menerus dengan penuh ketabahan keuletan tanpa kenal putus asa, atau tawashau bil haqqi tawashau bishshabri (QS 104:1-4).

 

B.   PEMBAHASAN

      1. Objek Sejarah

Terdapat dua sasaran utama objek material sejarah sebagai pondasi pendidikan Islam. Sasaran pertama adalah konsep dan sifat sejarah menurut al Qur-an. Konsep dan sifat sejarah tersebut kemudian ditransformasikan ke dalam konsep dan sifat kegiatan pendidikan. Dengan demikian akan tampak benang merah konsep dan sifat sejarah menurut Alquran pada berbagai tingkatan pendidikan, baik filosofis, teoritis, maupun praksisnya. Kedua, sistem pendidikan Islam yang tercatat dalam sejarah kehidupan ummat Islam. Gambaran tentang sistem pendidikan sejak jaman Nabi sampai jaman Globalisasi dan Post Modernisme ini akan memberikan kekayaan pengalaman luar biasa bagi ummat Islam dan menyuguhkan beragam pola, sifat dan bentuk-bentuk kegiatan pendidikan untuk dipilih yang terbaik dan tercocok untuk diterapkan di lingkungan pendidikan masing-masing kelompok ummat.

2.   Sunnatullah, Kepastian milik Allah, Otoritas Allah

Alquran sangat memperhatikan sejarah. Selain sejarah difungsikan menjadi 'ibrah bagi ummat manusia, Alquran juga menekankan adanya hukum kepastian sejarah dalam kehidupan bermasyarakat dan berkeadaban yang disebut sunnatullah (Qs 48:23; 35:43). Penyebutan sunnatullah dalam Alquran hampir dapat dipastikan terkait dengan prinsip kejayaan manakala manusia menerima kebenaran dan prinsip kehancuran manakala menentang kebenaran[1]. Karena itu pula dapat dikatakan bahwa prinsip utama sunnatullah adalah hukum sebab akibat kemanusiaan yang sangat eksak, penuh kepastian, sebagai bagian dari sifat Allah yang segala ketentuannya penuh dengan ukuran-ukuran yang pasti[2]. Sunnatullah adalah hukum kepastian milik Allah, otoritas Allah. Di dalam katagori sebab terdapat illat, syarat, unsur atau faktor-faktor, yang pada masing-masingnya memiliki tingkat atau peringkat tertentu. Setiap tingkat atau peringkat syarat, baik dalam dimensi kualitatif maupun kuantitatif memiliki akibat yang berbeda-beda. Lebih banyak tingkat dan peringkat illat, syarat, unsur atau faktor yang diketahui dan dikuasai, akan lebih leluasa manusia menentukan akibat atau pilihan yang dikehendakinya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

3.      Sunnatullah dan Sanksi Sejarah Merupakan Suatu Keharusan Tersendiri

Menentukan pilihan terbaik yang dikehendaki, itulah yang disebut ikhtiyar, yakni memilih akibat terbaik, berdasarkan penciptaan atau pemenuhan sebab-sebab yang diketahui dan dikuasai. Karena itu lebih banyak penguasaan pengetahuan tentang sebab, lebih terbuka pilihan untuk menentukan akibat terbaik yang dikehendaki, baik mutu maupun jumlah.

Ikhtiar (mencari yang terbaik) merupakan otoritas manusia, ke dalamnya masuk dimensi moral. Manusia bermoral baik akan merekayasa sebab-sebab yang menghasil kan akibat yang baik, sementara manusia bermoral jahat akan merekayasa sebab-sebab yang menghasilkan kehancuran martabat kemanusiaan. Tingkatan moral tersebut terkait erat dengan tingkatan keimanan atau komitmen pada nilai kebenaran. Lebih tinggi keimanan lebih kuat ikatan moralnya, sebaliknya lebih rendah ikatan pada nilai kebenaran, lebih longgar ikatan moralnya. Ikatan pada kebenaran selain dipengaruhi oleh keimanan juga oleh pengetahuan tentang taqdir dan sunnatullah, serta suasana lingkungan pergaulan. Seorang mukmin (dengan niat baiknya) yang bodoh (dengan ketidak tahuannya akan pertautan sebab akibat yang ada pada taqdir dan sunnatullah) lebih terbuka peluang  melenceng dari kebenarannya dibanding orang mukmin yang cerdas dan pandai. Manakala mukmin bodoh tersebut hidup di lingkungan pergaulan yang jahat, maka kecenderungan imannya terpengaruh oleh lingkungan jahatnya jadi lebih terbuka. Sementara orang yang kuat imannya dan tinggi ilmunya cenderung untuk mampu mempengaruhi lingkungan pergaulannya.

Karena itulah, kekuatan iman atau moral tokoh masyarakat memiliki fungsi yang sangat strategis dalam perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa perubahan sosial pada dasarnya dimodali oleh tingkat keimanan dan ikatan  moral pemimpin masyarakatnya. Tokoh atau pemimpin yang kuat iman dan moralnya menjadi unsur pokok bagi perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Sebaliknya tokoh atau pemimpin yang lemah iman dan ikatan moralnya, akan mengantarkan masyarakatnya kepada suasana masyarakat yang labil, mudah dipengaruhi oleh issu atau malah kepercayaan lain. Manakala suatu pilihan dilaksanakan, dengan atau tanpa ilmu, maka akibat pilihan tersebut pasti terjadi sesuai dengan sunnatullah. Lambat cepatnya, besar kecilnya atau bermutu tidaknya akibat yang ditimbulkan tergantung pada tingkatan pemenuhan sebab-sebab terkait. Kaitan sebab akibat sebagai sunnatullah keberadaannya sangat pasti, ukurannya tegas dan baku tidak pernah berubah dan bergeser dari dahulu sampai sekarang(QS. 33:28, 62; 35:43).

Jaminan kebakuan sunnatullah tersebut ditegaskan Alquran antara lain saat menerangkan kaum Yahudi yang fasik terhadap ketentuan Allah, berpaling dari janjinya kepada Allah. Mengapa mereka tidak patuh pada Allah, bukankah segala apa yang di langit dan di bumi semuanya sumerah pasrah patuh pada sunnatllah?, demikian ditegaskan Allah dalam firmanNya pada QS 3:81-83.

Dalam kaitan dengan ketegasan sunnatullah (bahwa yang jaya adalah orang yang memegang kebenaran Allah) tersebut, maka dapat dilihat bahwa sejarah menurut Alquran bersifat tidak netral, dalam arti selalu perpihak kepada kelompok yang kuat memegang kebenaran. Namun demikian keberpihakan Allah dalam arti terbentuknya perubahan atau kehancuran kebathilan, tetap terkait dengan waktu dalam arti sesuai dengan
terpenuhinya usnur-unsur sebab yang akan membuahkan akibat perubahan. Manakala unsur-unsur sebab terpenuhi, hukum atau sanksi sejarah merupakan suatu keharusan tersendiri, bersifat objektif, baik ke arah positif maupun negatif, integrasi atau desintegrasi sosial, mengikuti hukum mekanika sosial yang akhirnya menampilkan keunggulan moral dalam sejarah[3].

 

4.      Sunnatullah Perjuangan Mendewasakan Ummat

Menyimak hukum sunnatullah dalam sejarah, maka pendidikan hendaklah diupayakan sebagai bagian dari rekayasa manusia memenuhi sebab-sebab yang diarahkan untuk mencapai akibat tertentu pada anak didik. Sejauh mana peringkat mutu dan jumlah sebab-sebab berada, akan sejauh itu pula peringkat akibat dihasilkan oleh proses pendidikan. Dalam kaitan ini tugas pengelola dan pelaksana pendidikan adalah memenuhi unsur-unsur sebab yang mengkondisikan lahirnya akibat yang diinginkan. Disinilah pentingya para pendidik menguasasi psikologi, sosiologi, anthropologi filsafat dan anthropologi budaya lingkungan anak didik. Semuanya dalam rangka melengkapi instrument pendidikan dan pengajaran bagi tercapainya tujuan pendidikan. Perlu ditegaskan bahwa keberhasilan pendidikan para Nabi pada ummatnya, tidak terutama terletak pada instrument dan sarana prasarana, tapi lebih kepada instrument yang berupa komitmen kuat perjuangan mendewasakan ummat, yang perilakunya berupa ketekunan, keteladanan, kejujuran, dan kecerdasan Nabi, melihat karakter, kebiasaan, asal usul kehidupan ummat yang dibimbingnya. Inilah penegasan Alquran yang menyatakan bahwa para Nabi itu diutus dari kalangan ummatnya sendiri.

 

5.  Sejarah Berpihak Sistem Seleksi Kebenaran

Sebagai perekayasa sejarah kehidupan ummat manusia, Allah mengungkapkan sejarah kekuatan-kekuatan masa lalu dengan "ending historis" kemenangan bagi orang beriman, berilmu pengetahuan, kuat jasmani, shabar (QS2:153,246-249; 8:66) orang taqwa dan berbuat kebajikan (QS 9:36,123; 16:128). Orang shabar selalu disertai Allah kapan dan dimanapun. Karena itu hidupnya akan sukses, terlepas dari sebarapa besar jumlah modal awal yang dikuasainya.. Artinya dalam jumlah modal awal sedikitpun manakala disertai sifat shabar pasti akan berhasil. Manusia yang memiliki sifat shabar akan dengan sendirinya memiliki sifat-sifat terpuji lainnya seperti tahan uji/tahan banting, kuat pendirian walau dalam suasana penuh ketakutan, kelaparan, berkurangnya simpatisan, sedikitnya kekayaan dan kekurangan persediaan. Orang shabar adalah orang yang terus menerus berusaha memperbaiki diri, mengatasi berbagai kesukaran dan berbagai penderitaan. Secara sangat khusus Allah menyatakan bahwa sifat shabar merupakan sifat orang-orang besar penentu sejarah dunia (42:43; 46:35).

Dalam pada itu Alquran memberikan isyarat adanya kebosanan manusia memiliki sifat sabar. Karena itu kemenanganpun dipergilirkan. Ada saatsaat orang beriman memiliki sifat shabar yang bagus dan karenanya dalam jumlah yang sedikitpun mereka dapat memetik kemenangan perjuangan. Namun kemudian sesudah mendapatkan kemenangan, terjadi pergeseran sifat sehingga generasi pelanjutnya kurang mensyukuri jerih payah generasi sebelumnya. Akibatnya musuh mukmin yang selama ini menunggu-nunggu kesempatan, memiliki peluang untuk menghancurkan manusia mukmin (QS 3:140). Hal ini menunjukkan bahwa sifat shabar dapat saja dimiliki oleh orang yang bukan muslim bukan mukmin.[4]

Sebaliknya Allah secara tegas menyatakan tidak boleh berpihak pada orang-orang dhalim (QS2:124), walaupun orang tersebut ayah, anak atau istri Nabi. Dalam kaitan ini orang-orang mukminpun dilarang berpihak pada mereka, atau menyerahkan kekuasaan pada mereka walau orang-orang tersebut memiliki pertalian persaudaraan dan atau malah orangtua sendiri (9:23). Dengan demikian sunnah Allah yang berlaku dalam masalah kepemimpinan sosial ini cenderung untuk menunjukkan bahwa orang atau masyarakat yang secara etis masuk pada kualifikasi rendah, tidak bermoral dan tak mampu menegakkan keadilan, dari sisi sunnatullah tidak mungkin memimpin ummat manusia. Persoalannya adalah bagaimana hal itu berproses? Sejauhmana toleransi waktu jadi ukuran atas kepastian menangnya kebenaran dan kalahnya kejahatan? Bagaimana sejarah menyeleksi hal ini?

Alquran menceritakan sistem seleksi kebenaran. Kemunculan kebenaran dalam lingkungan kebatilan diumpamakan pada terseleksinya air laut dari buihnya dalam lintasan ruang dan waktu. Alquran memberi ketegasan bahwa kebenaran memiliki daya bertahan abadi, sementara kebathilan daya bertahannya sangat rapuh (QS13:17). Ibaratnya buih pada laut atau leburan timah, kebathilan dapat menutupi kebenaran, namun tidak dapat bertahan lama. Sebaliknya air laut atau leburan timahnya sendiri walau dalam jarak dekat seperti tertutup namun dalam jarak jauh dan apalagi dalam waktu lama, air laut atau leburan timah itulah yang terlihat jelas. Karena itu sangat mungkin dalam suatu tempat, kebenaran tertutupi namun manakala dilihat dari tempat lain kebenaran tersebut akan tampak dengan jelas dan akan terus memberi pengaruh terhadap jalannya sejarah. Proses sejarah akan menjadikan kebenaran sebagai kekuatan yang mampu bertahan lama akan semakin mengemuka dan sebaliknya kebathilan yang kekuatannya bersifat sementara akan semakin hilang. Betulkah kebenaran memiliki kekuatan bertahan lama? Jawabannya tergantung pada mutu dari pilar-pilar penunjang kebenaran.

Dua pilar utama terjaminnya kemenangan kebenaran. Pertama hati nurani manusia sebagai sumber atau benih munculnya pandangan dunia, dan kedua kekuatan phisik yang hakikatnya merupakan implikasi praktis dari keyakinan hati yang berubah, berkembang dan menjadi opini publik. Kedua pilar tersebut bersifat sinergi. Karena itu ummat Islam memiliki kewajiban untuk terus menerus membentuk opini kebenaran dalam rangka memperkuat hati nurani manusia, atau melatih hati nurani supaya kuat pendirian sehingga pernyataan atau pendiriannya mampu mempengaruhi pandangan dunia, dalam berbagai tingkatan lingkungannya. Memperkuat dua pilar kebenaran dalam sinergi pembentukan suasana sosial tersebut sangat penting, sebab hati manusia yang bersifat bolak balik, naik turun, belok ke kanan dan ke kiri ini mudah berubah pada saat-saat yang justru sedang amat kritis. Pembentukan opini kebenaran selain harus rapih juga harus sistemik, ada organisasinya. Hati nurani yang kokoh kuat memegang pendirian, itulah yang akan muncul ke permukaan sebagai pemenang. Sebaliknya pendirian manusia dhalim, munafik, muslim lemah pendirian, hipokrit akan tenggelam dalam kekalahan.

Pilar kedua, berbentuk kekuatan phisik atau materi, mempunya posisi yang sangat kuat dan pada saat-saat tertentu sangat menentukan. Ada sinyalemen Nabi yang menegaskan kebenaran pernyataan diatas. Beliau menyatakan adanya kemungkinan seorang mukmin jadi kafir lantaran kelemahan materi atau phisik, disamping ada pernyataan bahwa Allah lebih mencintai mukmin yang kuat ketimbang mukmin yang lemah. Dalam lintasan sejarah tercatat kebenaran yang dinanti-nantikan ummat ternyata sangat lama kemunculannya. Hal ini disebabkan lemahnya kekuatan phisik atau materi si pengikut kebenaran. Namun demikian segera perlu ditegaskan, betapapun lemahnya phisik/materi penunjang kebenaran, pada akhirnya mereka akan menang juga. Hal ini disebabkan selain orang mukmin tidak boleh terantuk dua kali pada batu yang sama dan karena itu berbagai kegagalan akan menjadikan guru terbaik bagi perbaikan masa depannya, pada sisi lain watak atau fitrah manusia pada dasarnya rindu dan cenderung untuk mencari dan berbuat menuju kebenaran. Diakui bahwa dalam keadaan menderita, sulit, tertekan dan tertindas, waktu yang begitu cepat dalam hitungan lintasan sejarah, akan sangat lambat dirasakannya. Perasaan lama menghidupi waktu yang pendek, pada umumnya diterima oleh orang yang menderita atau mendapat kesulitan. Namun sekali lagi perlu ditegaskan bahwa orang mukmin adalah orang yang hidupnya selalu berusaha untuk menuju dan mengarah kepada suasana yang lebih baik.

Adapun waktu menangnya kebenaran akan sangat tergantung pada terpenuhinya syarat perubahan, yang artikulatif dalam bentuknya yang disebut amal shaleh. Kehidupan shaleh, pada dasarnya adalah kehidupan yang sesuai dengan hukum-hukum taqdir dan sunnatullah. Sebagaimana diungkapkan di muka hal ini dipersyarati oleh pengetahuan yang memadai tentang bidang pekerjaan yang jadi sasaran amal shaleh. Lebih mumpuni pengetahuan yang dimiliki, lebih besar peluang mutu keshalehan suatu amal. Sebaliknya lebih rendah tingkat keilmuannya lebih besar peluang kegagalannya. Namun demikian dalam lintasan sejarah, kesalehan amal tersebut terkait erat dengan motivasi. Amal shaleh yang didorong oleh motivasi yang buruk, tidak akan bertahan di hadapan pengadilan sejarah dalam jarak waktu yang relatif singkat. Secara "taken for granted" motivasi yang pasti baik adalah motivasi yang semata-mata didasarkan iman pada Allah SWT.[5] Karena itu amal shaleh yang bagus, sunnatullahnya adalah amal sebagai hasil keimanan yang sehat yang pasti akan membawa kemenangan sebagai syarat terpegangnya kekuasaan di muka bumi (QS 24:55; 21:105).

Segera perlu ditambahkan bahwa iman dan amal shaleh yang dapat menggapai kekuasaan tersebut adalah iman dan amal shaleh yang dimiliki kelompok (keshalehan jama’ah), yang bisa jadi modalnya adalah kekuatan iman dan amal shaleh orang-orang tertentu yang memiliki kualitas kepribadian tinggi. Hal ini perlu dikemukakan sebab pada saat iman dan amal shaleh tersebut sebagai milik perorangan, kekuatannya lebih berfungsi sebagai pertahanan pribadi, dan kekuasaan yang dicapainya lebih bersifat individual. Artinya dari sisi keselamatan diri untuk tidak terpengaruh atau tidak berbuat salah, hal itu dimungkinkan, namun manakala dimaksudkan untuk menciptakan keselamatan sosial, tetap diperlukan iman dan amal shaleh secara kebersamaan. Kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat merupakan faktor penting dalam rentangan sejarah, sebab menurut Islam, masyarakat merupakan medan perwujudan tingkat kualitas akhlak, dan karena itu apa yang terjadi di masyarakat merupakan representasi dari akhlak masyarakatnya. Hal ini berbeda sekali dengan konsep masyarakat menurut Kristen, Hindu atau Utilitarianisme. Kristen dan Hindu mengecilkan dimensi kehidupan sosial dengan mendudukkan semua nilai etika pada segi pribadi subjektif. Sementara Utilitarianisme berpendapat bahwa masyarakat muncul dari kebutuhan pertukaran benda-benda ekonomis, untuk mengatasi keperluan bersama seperti pertahanan, transportasi dan lain sebagainya.[6]

 

6.   Implikasi Terhadap Kegiatan Pendidikan

Para pendidik tentu saja berkewajiban memotivasi terus menerus pada anak didiknya untuk berperilaku benar dan jujur, apapun risiko yang akan dihadapi, jangan sampai anak didik dibiasakan untuk mendapat keuntungan tanpa kejujuran dan kebenaran. Sebab dalam rentangan sejarah ketidak jujuran akan menghasilkan penyesalan yang luar biasa. Dalam proses pembelajaran manakala mereka ujian tanpa kejujuran, pasti akan terjadi penyesalan berkepanjangan walau bisa jadi dengan tidak jujur tersebut mereka akan mendapatkan keuntungan yang kelulusan yang lebih cepat dan nilai yang lebih besar. Demikian juga dalam menempuh perjuangan hidup perlu ditegaskan bahaya ketidak jujuran dalam kehidupan social, khususnya manakala hal itu dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk memutuskan kebijakan publik.

Pendidikan merupakan kegiatan pewarisan nilai-nilai baik dan benar generasi pendidik. Keberpihakan pendidik pada nilai benar dan jujur harus terus menerus dikemukakan, didengung-denungkan. Namun demikian, kehidupan yang terus berkembang, (dengan impliksinya semakin banyak fakta dan data kehidupan) akan berakibat terhadap semakin terbukanya peluang berbeda pendapat tentang bentuk serta jenis kebaikan dan kebenaran faktual. Contoh, secara normative manusia wajib jujur (belum makan ya belum makan). Namun aktual perilaku jujur pada jenis dan lingkungan masyarakat tertentu sesuai dengan adat sopan santun dan kepercayaan bersama masyarakatnya (anak yang belum makan tidak mau mengatakan belum makan lantaran dianggap tidak sopan menurut etika keluarganya), sangat mungkin berbeda dengan aktual perilaku jujur pada jenis dan lingkungan lainnya (anak yang lantang mengatakan belum makan saat belum makan). Bagi para pendidik prinsip utama mendidik terdidik adalah normatifnya tersebut, sedang aktualisasinya sebaiknya disesuaikan dengan relaitas budaya masyarakat setempat. Walaupun begitu sifat dan indikator kejujuran universal tentu harus disampaikan pada anak didik secara lugas dan tegas.

7.   Jembatan Penghubung Antara Penyebab Dan Tujuan

       Perubahan dalam sejarah terkait dengan waktu terkumpulnya sebabsebab bagi terselenggaranya perubahan. Dalam kehidupan bermasyarakat, sebab-sebab tersebut terkumpul secara perlahan-lahan. Karena itu perubahan struktur atau kekuatan sosial biasanya terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, selama waktu yang cukup bagi terkumpulnya sebab-sebab perubahan. Ada perbedaan perhitungan lama waktu perubahan antara hitungan manusia dengan hitungan Allah (QS 22:47-48). Manusia menghitung dan merasakan sangat lama suatu jangka waktu yang menurut pandangan hukum sejarah (baca:sunnatullah) sebagai waktu yang pendek. Inilah kekeliruan yang dimiliki orang-orang kafir dan orang-orang dhalim. Mereka menganggap dengan tidak disegerakannya adzab Allah saat mereka melakukan kedhaliman, mereka akan selamanya selamat dan kemudian menganggap ancaman Quran itu bohong belaka. Padahal dalam paradigma sunnatullah, tahun-tahun kejahatan tanpa hukuman spontan dari Allah tersebut adalah waktu yang sangat singkat, ibaratnya satu hari berbanding seribu tahun.

Dalam dunia pendidikan sasaran didiknya adalah generasi muda yang sedang tumbuh. Pertumbuhan mereka sedang sangat cepat. Perubahan fisik dan psikhis mereka ukurannya dalam hitungan hari. Hal ini memerlukan perhatian cermat dari para pendidiknya. Tanpa kecermatan, kaum pendidik akan kehilangan kesempatan mengarahkan mereka pada nilai dan norma kebenaran Ilahy. Pencarian nilai pada tahapan usia mereka berlangsung sangat dinamis. Namun demikian gerakan dinamis tersebut terkait erat dengan situasi yang dikondisi para pendidik. Subjek didiknya sendiri, bisa jadi merasakan masa-masa tersebut dirasakan sangat panjang. Terlepas dari unsur subjektifnya, hukum sejarah dalam hal ini pasti berlaku. Perilaku belajar terdidik enam, sembilan atau lima belas tahun merupakan akumulasi unsur-unsur atau syarat-syarat bagi terbentuknya perilaku terpelajar di masyarakat. Dalam jangka pendek serta dalam jumlah yang sedikit, perilaku hasil pendidikan dalam masyarakat tidak akan terasa pengaruhnya, namun dalam jangka panjang dan apalagi bila dalam jumlah yang banyak, hal itu akan sangat terasa pengaruhnya bagi perubahan kehidupan masyarakat. Manusia terdidik, akan lebih terlatih untuk bergerak menuju masa depan dengan tujuan yang terarah, jelas tahapan dan sasarannya. Memiliki tujuan merupakan ciri khas gerakan sejarah. Karena tiap tahap gerakan memiliki tujuan, maka setiap gerakan pasti terkait dengan masa sebelumnya. Jembatan penghubung antara penyebab dan tujuan adalah gagasan atau kehendak, yang merupakan infrastruktur dan merupakan faktor dominan bagi perubahan suprastrukturnya yakni perilaku lahir baik secara perorangan merupakan ciri khas gerakan sejarah. Karena tiap tahap gerakan memiliki tujuan, maka setiap gerakan pasti terkait dengan masa sebelumnya. Jembatan penghubung antara penyebab dan tujuan adalah gagasan atau kehendak, yang merupakan infrastruktur dan merupakan faktor dominan bagi perubahan suprastrukturnya yakni perilaku lahir baik secara perorangan

Suatu perubahan dalam situasi dan kondisi suatu komunitas atau bangsa, hanya bisa diwujudkan oleh perubahan batin di komunitas atau bangsa tersebut, yang harus seperti sebatang pohon yang mengeluarkan buahbuah yang baru setiap hari.  Karena itu hanya perubahan psikologis suatu
bangsa secara keseluruhan yang ditampilkan oleh kondisi spiritual mayoritas bangsa tersebut sajalah yang mampu menimbulkan perubahan mendasar dalam watak historis suatu bangsa. Perubahan dalam spirit seseorang, dua orang atau beberapa orang individu saja tidak akan mampu menimbulkan perubahan.[7]

Untuk kasus Indonesia sesungguhnya contoh aktual berkenaan dengan hal ini cukup banyak. Proklamasi kemerdekaan 17-8-45 salah satu contohnya. Setelah berpuluh dan beratus tahun bangsa Indonesia dijajah Belanda, dan setelah letupan-letupan sosial di sana sini terjadi ditunjang oleh semakin terakumulasinya pemuda terdidik bangsa, baik melalui pendidikan Barat maupun pendidikan Timur Tengah, maka perubahan dahsyat dalam bentuk proklamasipun terjadi. Demikian juga kejadian pergantian Orde lama ke Orde Baru atau dari Orde Baru ke Era Reformasi. Semuanya merupakan akumulasi dari unsur-unsur perubahan yang meledak setelah cukup syarat bagi terjadinya perubahan. Perubahan-perubahan sejarah terjadi sangat lambat dan tidak terasa. Di atas permukaan, hidup tampak tenang dan tidak terganggu untuk jangka waktu yang lama walaupun tekanan akan terhimpun di bawahnya dan suatu waktu akan pecah bagaikan kilat atau halilintar[8].

Mungkinkah ledakan perubahan ditahan?. Sangat mungkin. Caranya dengan setiap unsur perubahan diatasi sedini mungkin. Hal ini sangat dimungkinkan, karena waktu, merupakan lahan yang sangat terbuka bagi terjadinya segala kemungkinan. Jika akibat-akibat perilaku yang mengarah kepada perubahan dahsyat diperbaiki, maka solidaritas sosial akan terbentuk kembali dan perubahan akan dapat ditahan. Sebaliknya jika peringatan, teguran, sapaan, amar ma'ruf nahi munkar dianggap sepi, maka akibat dari kesalahan akan terhimpun untuk akhirnya pecah dalam bentuk ledakanledakan sosial atau kekalahan politik yang akan mengguncang landasan suatu masyarakat dan menyapu bersih orang-orang yang dhalim.

Berdasarkan deskripsi di atas, pada umumnya proses perubahan digambarkan Alquran melalui pertarungan antara dua kekuatan. Kemenangan akan diraih oleh kebenaran sebagai kekuatan penghancur kedholiman, manakala kebenaran itu disertai dengan keshabaran. Shabar merupakan aspek kualitatif kelompok yang sangat menentukan, walau mereka berjumlah kecil.. Dihadapan mukmin yang shabar, jumlah yang banyak dari kelompok dholim bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan (QS 2:249). Persoalannya adalah bagaimana bentuk tindakan shabar tersebut sehingga mampu mengantarkan kemenangan pada kelompok kecil? Dengan melihat kisah kemenangan Thalut terhadap Jalut, perilaku shabar dapat dirinci kepada sifat-sifat hati-hati dalam perjuangan, ikhlash, tidak serakah dalam membawa perbekalan, serta pemimpin yang luas ilmunya, kuat jasmaninya, mampu memberikan ketenangan jiwa pada para pengikutnya serta memelihara kebiasaan baik yang ditinggalkan para pendahulunya.

8.   Keyakinan pada Kebenaran Sebuah Sunnatullah

Keyakinan yang benar pada kebenaraan merupakan modal paling dasar dalam menentukan sejarah peradaban manusia dan perubahan sosial. Keyakinan demikian, selain meninggikan mutu ruhani manusia, juga dapat mengalahkan kekuatan dalam bentuk phisik dan materi. Di sinilah pentingnya pendidikan keimanan disampaikan pada tahap awal pertumbuhan anak-anak. Dari sini pula kita dapat memahami mengapa banyak perubahan sosial disponsori oleh kaum muda bangsa. Mereka adalah orang-orang yang masih bersih memegang norma tanpa terpolusi oleh kepentingan-kepentingan mempertahanbkan keni'matan materi yang justru sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari pada kelompok usia tua yang mapan. Walaupun Alquran tidak mempertentang kan kemajuan spiritual dengan kemajuan material, namun diakui keduanya tidak sama, tidak sepadan. Terdapat korelasi terbalik antara keduanya dalam mensikapi masing-masing pihak. Orang yang luhur spiritualnya, mungkin kaya mungkin miskin. Namun dalam keadaan miskinpun, mereka yang memiliki ruhani yang luhur tidak akan meremehkan, menganggap enteng atau mengagungagungkan fisik/materi dan fungsinya. Sebaliknya orang yang banyak harta dan tinggi kekuasaannya cenderung meremeh kan nilai-nilai ruhaniyah.

Kekayaan dan kekuasaan sering menjadikan orang tidak tanggap terhadap pandangan yang luhur, benar dan jujur. Lebih jauh malah cenderung untuk mengelabui kebenaran, menipu kewajaran dan mengkhianati kejujuran. Kekuasaan dan kekayaan yang tidak disertai sistem kepercayaan yang benar yang menyertai sikap dan tindakan yang layak dan bermartabat, maka kehancuran akan datang tidak terelakkan. Demikianlah sunnatullah dalam sejarah yang terungkap dalam al Qur-an. Karena itu banyak sekali ayat Qur-an yang memperingat kan pembacanya tentang hal itu. Diantara contoh yang dapat dikemukakan yang berkaitan dengan kisah kaum Aad, Tsamud dan Raja Mesir Fir'aun. Diceritakan kekayaan, kehebatan bangunan tanpa tanding serta kekuasaan yang tanpa batas di hadapan manusia lainnya, namun kemudian dihancurkan Allah lantaran mereka berpaling dari kepercayaan yang sehat yang sesuai dengan fitrah manusia (QS 89:6-14).

Bagaimana Islam mengajar manusia supaya yakin akan kebenaran datang dari Tuhan? Pertama-tama Islam menyadarkan manusia untuk memahami anugerah pendengaran dan penglihatan sebagai penunjang kegiatan berpikir (QS 16:78). Kemudian Islam mendorong untuk mensyukuri ketiga macam anugerah tersebut dengan cara menggunakannya seoptimal mungkin. Semakin digunakan anugerah Allah semakin terasakan ni'matnya memiliki anugerah dengar lihat pikir tersebut. Secara sinergi hasil dengar lihat pikir tersebut akan mempertajam kepekaan ketiganya untuk kemudian mempertinggi mutu hasil penggunaannya. Didasari oleh sifat alami manusia yang cenderung pada kebenaran (fitrah kenaifan) serta ajaran yang menuntut adanya upaya mempertinggi mutu pengendalian diri, maka terpenuhilah syarat sunnatullah untuk menusia tersebut mendapatkan hidayah dari Allah SWT., yang bentuknya antara lain berupa standar-standar kebenaran universal yang dicapai melalui penggunaan optimal naluri, alat indera, akal, pemahaman teks-teks Alquran dan Hadits serta internalisasi nilai-nilai pemahaman sehingga aktivitas kehidupannya jadi representasi nilai itu sendiri[9]. Dalam realitas kehidupan tentu saja tidak sesederhana sebagaimana digambarkan di atas.

9.      Keilmuan Melalui Pendekatan Kesejarahan

Sebagaimana diungkapkan di atas, ciri gerakan sejarah adalah memiliki tujuan. Namun bila direnungkan lebih jauh sesungguhnya yang memiliki tujuan itu adalah manusia sebagai pelaku sejarah. Tujuan hidup adalah isi batin manusia, yang merupakan infrastruktur kedirian dan kepribadian manusia. Sedangkan suprastrukturnya adalah perilakunya. Suprastruktur yang tidak memiliki topangan infrastruktur yang kuat, akan rapuh, mudah hancur.

Demikian juga perilaku manusia yang tidak ditopang oleh batin yang memiliki tujuan yang sehat, rasional dan benar, perilaku tersebut akan mudah diombang ambing oleh kekuatan lain di luar dirinya. Dari tujuan hidup, lahirlah cita-cita hidup masa depan. Berdasarkan cita-cita manusia memerlukan visi atau wawasan terhadap lingkungan, dunia tempat berjuang dan masa depannya. Dari cita-cita pula lahir gerakan yang bertujuan. Secara berturut-turut kemudian visi melahirkan misi. Misi melahirkan strategi yang kemudian melahirkan taktik dan kiat-kiat gerakan hidup manusia. Tujuan hidup yang menjadikan semua cita, ingatan, arah dan strategi gerakan ditujukan kepadanya, menyita seluruh perhatian dan memaksa seseorang menyesuaikan diri dengan segala tuntutannya, maka tujuan hidup tersebut disebut ilah (arti harfiyahnya ikatan, sembahan).

Dalam keadaan sebuah rumah (umpamanya) menyita seluruh cita, perhatian, ingatan seseorang (hatta umpamanya saat kita makan, shalat, bangun atau tidur) dan segala tuntutan untuk memilikinya (walau berseberangan dengan ajaran agama) diusahakan untuk dipenuhi, maka rumah tersebut sudah dapat masuk katagori ilah. Demikian juga halnya keinginan-keinginan yang lain, manakala keinginan tersebut menyita seluruh cita, ingatan, perhatian kapan, dimana dan sedang bagaimanapun, maka keinginan tersebut menduduki posisi sebagai ilah.

Berdasarkan penuturan tersebut di atas, diketahui bahwa tujuan hidup yang melahirkan cita-cita kehidupan merupakan mesin pemicu semua taktik dan kiat-kiat gerakan kehidupan. Semakin tinggi cita-cita seseorang semakin luas dan besar gerak annya. Sebaliknya manakala cita-citanya rendah akan rendah pula riak gerakan yang ditimbulkannya. Orang yang cita-citanya terbatas kepada hal-hal yang sifatnya fisik material, maka kegiatannya akan berputar disekitar fisik dan materi tersebut. Sebaliknya manakala citacitanya luhur dan tidak hanya terbatas kepada hal-hal yang sifatnya fisik material, namun menerobos kepada hal-hal yang sifatnya nilai, norma keruhaniahan manusia, maka selain areal gerakannya akan luas, juag hal-hal yang sifatnya fisik material dengan sendirinya akan terlampaui/diperoleh. Karena itu dalam dunia pendidikan handaklah pendidik mendorong terdidik untuk memiliki informasi dan pengalaman yang luas, yang dengan itu jadi dasar bagi munculnya wawasan yang luas, serta misi atau cita-cita yang luas, baik yang berkenaan dengan kepentingan hidup masa depannya sendiri atau kehidupan masyarakat tempat si terdidik memperoleh pengalaman atau informasi tentangnya.

Persoalannya adalah mengapa manusia memilih cita-cita yang terbatas pada sesuatu yang sifatnya fisik material saja? Hal ini berkaitan dengan pandangan hidup yang terkenal dengan sebutan Materialisme.[10] Pandangan yang digagas oleh Karl Marx ini menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan hidup manusia terkait dengan tingkat kepemilikan harta kekayaan/jumlah materi. Lebih banyak materi yang dikuasai akan lebih tinggi kesejahteraan yang dini'mati. Ajaran Islam sendiri tidak menolak pentingnya harta benda, kekuatan fisik dan terhimpunnya materi. Beberapa pernyataan rasul menegaskan hal tersebut. Antara lain ungkapan "kadangkala kefakiran itu mendekatkan manusia kepada kekufuran"., atau "Allah lebih mencintai mukmin yang kuat ketimbang mukmin yang lemah". Namun ajaran Islam menolak bahwa kesejahteraan manusia tergantung pada penguasaan hal-hal yang bersifat fisik/materi.

Dalam Islam penguasaan materi hanya salah satu saja dari tercapainya kesejahteraan. Unsur lain yang lebih penting dan malah sangat menentukan ketenteraman dan kesejahteraan ummat manusia adalah kekuatan ruhani. Hal ini karena dalam ajaran Islam kemampuan materi tersebut lebih diposisikan sebagai asesori dan bukan substansi. Kesejahteraan dan atau kebahagiaan menurut ajaran Islam tidak diukur oleh jumlah materi tapi diukur oleh sikap manusia terhadap materi. Istilah-istilah nafs muthmainnah qalbun saliim, zuhud atau qana'ah umpamanya, semuanya menunjukkan bahwa inti kesejahteraan hidup tersebut adanya pada dimensi ruhani bukan pada jasmani/fisik/materi.

10. Berpikir Sejarah Berpikir Periodisasi

Hampir dapat dipastikan manakala kita membaca buku-buku sejarah, apapun objek materianya (agama, negara, ekonomi, manajemen, teknologi, komunikasi dsb.nya) akan selalu memakai pendekatan periodisasi. Demikian juga halnya dalam dunia pendidikan Islam yang juga harus ditransformasikan dalam kegiatan pendidikan sehari-hari. Walaupun menentukan periodisasi tersebut, otoritas ahli keilmuan yang menulis melalui pendekatan kesejarahan, namun mereka biasanya memakai ukuranukuran objektif untuk membuat periodisasi. Karena itu dalam pandangan objektifitasnya, para ahi tetap memiliki perbedaan-perbedaan dalam membuat pembagian periode dalam suatu bidang keilmuan.

Dapat dicontohkan periodisasi dalam kegiatan pendidikan Islam. Hasan Langgulung membagi kegiatan pendidikan Islam pada empat periode, yakni periode Pembinaan (dari munculnya Islam sampai akhir Bani Umayyah), Keemasan (masa kekhalifahan Bani Abbasiyah), Keruntuhan dan Kehancuran (masa kekuasaan Turki Utsmaniyah) serta empat periode Pembaharuan dan Pembinaan Kembali (sejak terlepasnya kerajaan Arab dari kekuasaan Turki sampai sekarang)[11]. Berpikir periodisasi akan sangat terkait pada struktur berpikir (paradigma) dan jumlah informasi atau pengetahuan berkenaan dengan objek materianya. Tidaklah mengherankan manakala para cendekiawan membuat katagori yang berbeda tentang periodisasi satu bidang kajian, hal ini terkait dengan paradigma dan jumlah informasi yang dikuasainya.

Katagorisasi periodisasi Sirah Rasul dapat dijadikan contoh. Katagorisasi berdasarkan paradigma tempat dan turun wahyu membaginya pada periode Mekah dan periode Madinah. Katagorisasi berdasarkan paradigma kerisalatan memba ginya pada periode qabla risalah dan periode ba’da risalah. Sementara itu pakar tarikh yang lainnya dapat mengkatagorisasikan berdasarkan sistem berkeluarga, yakni periode diasuh ibu, diasuh kakek, diasuh paman, kawin pertama, kawin kedua , kawin ketiga dst.nya. Dalam berpikir periodisasi yang penting adalah kemampuan mengelompokkan kesamaan sejumlah informasi dan berdasarkan kesamaan dari beberapa data fakta tersebut dibuatlah katagorisasi.

D.  PENUTUP

Ikhtiar (mencari yang terbaik) merupakan otoritas manusia, ke dalamnya masuk dimensi moral. Manusia bermoral baik akan merekayasa sebab-sebab yang menghasil kan akibat yang baik, sementara manusia bermoral jahat akan merekayasa sebab-sebab yang menghasilkan kehancuran martabat kemanusiaan. Tingkatan moral tersebut terkait erat dengan tingkatan keimanan atau komitmen pada nilai kebenaran

Keyakinan yang benar pada kebenaraan merupakan modal paling dasar dalam menentukan sejarah peradaban manusia dan perubahan sosial. Keyakinan demikian, selain meninggikan mutu ruhani manusia, juga dapat mengalahkan kekuatan dalam bentuk phisik dan materi. Di sinilah pentingnya pendidikan keimanan disampaikan pada tahap awal pertumbuhan anak-anak. Dari sini pula kita dapat memahami mengapa banyak perubahan sosial disponsori oleh kaum muda bangsa

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Nurcholish Madjid, Memahamai al Qur-an Secara Ensiklopedis. (Jakarta: Paramadina 1996)h. 3-4.

Kurniawan, M. A. (2022). KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DALAM AL-QUR’AN. Al Mumtaz: Jurnal Pendidikan dan Sosial Keagamaan1(1), 1-12.

Mahzherudin Siddiqi , Konsep Qur-an Tentang Sejarah, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1986).  h.1-49

Kurniawan, M. A. (2021). SYI'IR TANPO WATON RECONSTRUCTION OF LOCAL CULTURE IN THE CONTEXT OF TASAWUF. Riayah: Jurnal Sosial dan Keagamaan6(2), 201-216.

Kurniawan, M. A. (2017). Multikultural: Wacana Pendidikan Islam Yang Belum Baku. Riayah: Jurnal Sosial dan Keagamaan2(02), 105-119.

Ismail R Faruqi. Islam dan Kebudayaan. (Bandung, Mizan: 1984) h 59.

Baqir Ash Shadr, M. Sejarah Dalam Perspektif Al Qur-an. (Jakarta. Pustaka Hidayah: 1993) h. 123-124.

Mazheruddin, Op Cit, h.16-17.

Ahmad Musthafa al Maraghi (1365H). Tafsir Al Maraghiy. Beirut, Darul Fikr, I:35-36).

Ensiklopedi Indonesia Jilid 4, Jakarta Pt Ichtiar Baru- Van Hoeve. h. 2172

Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta, Pustaka Al Husna: 1987) h. 65-66.

 

 


[1] Nurcholish Madjid, Memahamai al Qur-an Secara Ensiklopedis. (Jakarta: Paramadina 1996)h. 3-4.

      [2] Kurniawan, M. A. (2022). KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DALAM AL-QUR’AN. Al Mumtaz: Jurnal Pendidikan dan Sosial Keagamaan1(1), 1-12.

[3] Mahzherudin Siddiqi , Konsep Qur-an Tentang Sejarah, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1986).  h.1-49

[4] Kurniawan, M. A. (2021). SYI'IR TANPO WATON RECONSTRUCTION OF LOCAL CULTURE IN THE CONTEXT OF TASAWUF. Riayah: Jurnal Sosial dan Keagamaan6(2), 201-216.

[5] Kurniawan, M. A. (2017). Multikultural: Wacana Pendidikan Islam Yang Belum Baku. Riayah: Jurnal Sosial dan Keagamaan2(02), 105-119.

[6] Ismail R Faruqi. Islam dan Kebudayaan. (Bandung, Mizan: 1984) h 59.

[7] Baqir Ash Shadr, M. Sejarah Dalam Perspektif Al Qur-an. (Jakarta. Pustaka Hidayah: 1993) h. 123-124.

[8] Mazheruddin, Op Cit, h.16-17.

[9] Ahmad Musthafa al Maraghi (1365H). Tafsir Al Maraghiy. Beirut, Darul Fikr, I:35-36).

[10] Ensiklopedi Indonesia Jilid 4, Jakarta Pt Ichtiar Baru- Van Hoeve. h. 2172

[11] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta, Pustaka Al Husna: 1987) h. 65-66.

No comments:

Post a Comment