Thursday 5 April 2018


Studi Kebijakan Pendidikan : Makna, Urgensi Dan Relevansinya Bagi Pengembangan  Pendidikan Islam



Muhammad Agus Kurniawan

       


Abstract:

Thoughts on the development of Islamic education to encourage critical analytical thinking, creative and normative in the face of various practices and current issues in the field of education weeks to be studied and analyzed from fondasionalnnya dimensions so as not to lose the spirit or the spirit of Islam and / fragility philosophical foundation, as well as the face of the trend. Emphasis on the importance of students to live by the values of goodness, spirituality and morality as neglected. In fact the opposite is happening. Nowadays, many educational institutions have been transformed into industrial business, which has a pragmatic vision and mission. Education geared to deliver pragmatic individuals who work to achieve material success and social professions that will prosperity themselves, companies and countries.


Key Words. Kebijakan Pendidikan, Pengembangan  Pendidikan Islam





      A. PENDAHULUAN
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi.[1]
Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular.
Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali dan mendeskripsikan kebijakan pendidikan : makna, urgensi, dan relevansinya  bagi pengembangan pendidikan Islam, juga memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat secara umum dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan dan sasaran pendidikan dalam Islam dapat diaplikasikan pada wacana dan realita saat ini.

B.  PEMBAHASAN
      1.  Pengertian Kebijakan Pendidikan
      Dalam bahasa Indonesia, kata “kebijaksanaan” atau “kebijakan” yang diterjemahkan dari kata policy tersebut mempunyai konotasi tersendiri. Kata kebijakan diambil dari kata bijaksana atau bijak yang dapat disamakan dengan pengertian wisdom, yang berasal dari kata sifat wise dalam Bahasa Inggris. Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do).
      Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, Syafarudin mengungkapkan bahwa kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya [2]  Abidin menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.[3]
Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku.[4]  Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum dan Peraturan, kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
Masih banyak kesalahan pemahaman maupun kesalahan konsepsi tentang kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan kebijaksanaan, yang maknanya sangat berbeda dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yang dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah aturan tertulis hasil keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan adalah : (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan disini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini juga memberi pengetahuan pada kita bahwa ruang lingkup kebijakan dapat bersifat makro, meso, dan mikro. (dalam sosiologi dapat dianalogikan dengan kelompok sosial kecil, sedang, dan besar) Dalam ruang lingkup pendidikan mikro (sekolah), meso (dinas pendidikan kota/provinsi), maupun makro (departemen).[5]
      Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara.[6] Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai. Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa berubah. Ketika kebijakan politik dalam dan luar negeri, kebijakan pendidikan biasanya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri dapat pula mengganti kebijakan yang telah mapan pada jamannya. Bukan hal yang aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih ingat dibenak kita ada pelajaran PSPB yang secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun di pelajari di PMP (sekarang PKN/PPKN).

2. Fungsi Kebijakan Pendidikan
        Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
       Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan. Berkaitan dengan masalah ini, kebijakan dipandang sebagai: (1) pedoman untuk bertindak, (2) pembatas prilaku, dan (3) bantuan bagi pengambil keputusan [7]
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang organisasi pendidikan .

     3. Makna Pengembangan Pendidikan Islam
       Istilah pengembangan dapat bermakna Kuantitatif dan Kualitatif . Secara kuantitatif bagaimana menjadikan pendidikan Islam lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya  dalam  konteks pendidikan pada umumnya. Secara kualitataif bagaimana menjadikan pendidikan Islam lebih baik, bermutu dan lebih  maju sejalan  dengan ide-ide dasar atau nilai-nilai Islam  itu sendiri yang seharusnya  selalu berada didepan  dalam merespon  dan mengantisipasi  berbagai tantangan pendidikan.
       Termasuk dalam pengertian kualitatif adalah  bagaimana mengembangkan  pendidikan Islam  agar menjadi suatu bangunan  keilmuan  yang kokoh  dan memiliki kontribusi yang signifikan  terhadap pembangunan masyarakat  nasional dan trans-nasional, serta pengembangan Iptek.
       Pemikiran tentang pengembangan pendidikan Islam mengajak untuk berpikir analitis kritis, kreatif  dan normatif dalam menghadapi  berbagai praktik  dan isu aktual di bidang pendidikan  utuk dikaji  dan ditelaah dari dimensi  fondasionalnnya   agar tidak kehilangan roh  atau spirit Islam  dan / kerapuhan  fondasi  filosofis, serta menghadapi  trend. Pemikiran atau teori-teori  pendidikan  yang dibangun oleh para pendahulunya , untuk selanjutnya  dapat:
1)      Memperkaya nuansa pemikiran  dan teori yang ada.
2)      Merevisi dan menyempurnakan  pemikiran atau teori  yang sudah ada
3)      Mengganti pemikiran   dan teori lama  dengan pemikiran dan teori baru.
4)      Menciptakan pemikiran  dan teori  yang belum ada sebelumnya.[8]
       Dengan demikian pendidikan Islam  akan mengalami  perubahan , pembaharuan,  atau perbaikan yang diikuti dengan pertumbuhan  dan ditingkatkan  secara berkelanjutan  untuk  dibawa ke arah yang ideal.
       Bertolak dari pemikiran  diatas, maka pemikiran tentang pengembangan  pendidikan Islam  dapat mengandung  berbagai makna, yaitu:
1)      Bagaimana mengembangkan pendidikan Islam  sehingga memiliki kontribusi  yang signifikan  bagi pembangunan masyarakat  dan pengembangan iptek.
2)      Bagaimana mengembangkan model-model pendidikan Islam  yang lebih kreatif dan inovatif  dengan tetap komitmen  terhadap dimensi-dimensi  fondasional dan strukturalnya
3)      Bagaimana mengembangkan pemikiran pendidikan Islam  sebagaimana tertuang dan terkandung  dalam literatur pendidikan Islam.[9]

     4.  Urgensi Pengembangan Pendidikan Islam
Pengertian Urgensi jika dilihat dari bahasa latin bernam “urgere” yaitu (kata kerja) yang berarti mendorong…dan jika dilihat dari bahasa inggris bernama “urgent” yang memiliki arti (kata sifat) dan dalam dalam bahasa indonesia “urgensi” (kata benda). Istilah Urgensi menunjuk pada sesuatu yang mendorong kita, yang memaksa kita untuk diselesaikan..dengan demikian mengandaikan ada suatu masalah dan harus segera ditindak lanjuti. Selanjutnya dalam kehidupan pribadi atau masyarakat, pendidikan Islam (tarbiyah) menduduki posisi yang sangat penting. Sebab melalui proses pendidikan pribadi seorang dapat tumbuh dan berkembang secara baik, sesuai yang diharapkan.[10] Tarbiyah dapat membentuk kepribadian seseorang selaras dengan nilai-nilai dan prinsip yang mendasarinya sehingga menjadi kepribadian yang sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai dan prinsip Islam. Seseorang yang telah dididik dengan pola pendidikan Islam, sikap dan perilakunya akan merupakan refleksi total dari keutuhan dirinya yang telah tersibghah nilai-nilai Islam. Akibatnya integritas Islamnya kukuh dan gaya hidupnya Islami. Tidak akan terjadi split personality (kepribadian pecah) yang mengakibatkan seorang muslim kehilangan kepribadiannya dan terseret ke dalam arus gaya hidup yang lain.
Pendidikan Islam mengarahkan kehidupan seorang muslim berkembang dan terus semakin matang. Sikap, perilaku, dan gaya hidupnya bersifat spesifik islami yang berinteraksi secara posiif, baik internal maupun eksternal. Sehingga ia dapat memancarkan arus Islam si tengah-tengah lingkungannya. Ia menjadi manusia yang tangguh yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai arus kehidupan yang melandanya. Tegasnya ia menjadi muslim yang muttaqin.
Pentingnya pendidikan telah diungkapkan beberapa tokoh pendidikan Islam yang mengacu kepada definisi pendidikan Islam, yaitu:
1)      Abdurrahman al-Nahlawi mengemukakan bahwa pendidikan Islam merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan mutlak umat manusia, karena (a) untuk menyelamatkan anak-anak di dalam tubuh umat manusia pada umumnya dari ancaman[11].
2)      Muhammad Fadil al-Jamaly (Guru Besar Pendidikan di universitas Tunisia) mengatakan bahwa pendidikan adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan  kemampuan  dasa r atau fitrah  dan  kemampuaan  ajarannya (pengaruh dari luar).[12] Esensi pendidikan yang harus dilaksankan umat Islam menurut beliau adalah pendidikan yang memimpin manusia kearah akhlak mulia dengan memberikan kesempatan keterbukaan terhadap pengaruh dari dunai luar dan perkembangan dari dalam diri manusia yang merupakan kemampuan dasar yang dilandasi oleh keimanan kepada Allah SWT. Pandangan beliau ini didasarkan pada firman Allah SWT yang artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. an-Nahl: 78)
       Firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 78 tersebut mengindikasikan kepada kita bahwa ketika kita dilahirkan tidak mengetahui sesuatupun. Maka Allah ciptakan pada diri manusia pendengaran, penglihatan dan hati, ini semua untuk membantu manusia dalam proses pendidikan. Tanpa melalui pendidikan manusia tidak mengetahui apa-apa. Dengan pendidikanlah manusia bisa mengetahui tentang segala sesuatu terutama tentang kebesaran Allah SWT.
Pendidikan Islam adalah untuk membentuk budi pekerti. Sementara budi pekerti adalah jiwa dari pada pendidkan Islam. Dan Islam telah menyimpulkan bahwa mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam. Iman Al-Ghazali berpendapat bahwa pentingnya pendidikan Islam ialah usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pendidikan Islam bukan sekedar mengisi otak dengan segala macam ilmu yang berorientasi pragmatis, melainkan mendidik akhlak dan jiwa (spiritual), mempersiapkan   mereka untuk suatu kehidupan yang suci berlandaskan iman dan taqwa. 
Selanjutnya asumsi yang melandasi teori maupun praktik pendidikan Islam , bukan hanya landasan filosofis yang dijadikan titik tolak  dalam rangka studi dan praktik pendidikan Islam saja, tatapi masih ada landasan religius/agama maupun landasan yuridis/ hukum yakni landasan dari perundangundangan yang berlaku[13]
 Terkait dengan penjelasan urgensi  diatas pendidikan Islam memiliki ontologi dalam  arti ilmu hakikat. Kalau kita membicarakan ilmu hakikat ini sangat luas, apakah hakikat dibalik alam nyata ini, menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang terbatas oleh panca indera kita. Hakikat ialah realitas, realitas ialah ke-real-an, real yakni kenyataan yang sebenarnya, kenyataan yang sesungguhnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukanlah keadaan yang sementara atau keadaan yang menipu, bukan pula keadaan yang berubah dan bukan sesuatu yang fatamorgana. Jadi, ontologi pendidikan adalah menyelami hakikat dari pendidikan Islam, kenyataan dalam pendidikan Islam dengan segala pola organisasi yang melingkupinya, meliputi hakikat pendidikan Islam dan ilmu pendidikan Islam, hakikat tujuan pendidikan Islam, hakikat manusia sebagai subjek pendidikan yang ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan hakikat kurikulum pendidikan Islam. Urgensi menunjuk pada sesuatu yang mendorong, Jadi yang dimaksud sesuatu dalam urgensi tersebut adalah hakikat dari pengembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Walaupun sebenarnya kajian yang penulis lakukan kali ini belum mampu mengupas secara mendalam tentang hakikat pendidikan Islam dan pola organisasi di dalamnya. Oleh karena itu, penting rasanya untuk diutarakan bahwa masukan, kritik, dari hasil diskusi akan sekiranya membantu dalam penyempurnaan dari tulisan ini dan akan lebih menyenangkan apabila dalam kritik dan saran tersebut disertai rujukan yang jelas, yang akan mempermudah dalam pelacakan.

      5.  Relevansi  Pengembangan Pendidikan Islam
       Relevansi adalah sesuatu yang mempunyai kecocokan atau saling berhubungan. Selanjutnya  Pendidikan Islam adalah sebuah sarana untuk menyiapkan masyarakat muslim yang benar-benar mengerti tentang Islam. Di sini para pendidik muslim mempunyai satu kewajiban dan tanggung jawab untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lain.[14] Pendidikan Islam lebih mengedepankan nilai-nilai keislaman dan tertuju pada terbentuknya manusia yang ber-akhlakul karimah serta taat dan tunduk kepada Allah semata. Sedangkan pendidikan selain Islam, tidak terlalu memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman, yang menjadi prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan inderawi semata [15].
     Pendidikan Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan yang sifatnya aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam bidang teknologi. Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi, ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama, begitu juga sebaliknya. Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif (bagaimana seharusnya), sedangkan sains meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya). Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam Phobia dan merasa sains bukan urusan agama begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia saja. Di sini sangat jelas pemisahan dikotomi ilmu tersebut.[16]
     Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan urusan agama dan dunia. Dalam Islam, agama mendasari aktivitas dunia, dan aktivitas dunia dapat menopang pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan hanya sekedar mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat pada agama lain, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakikatnya, membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengatur satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Qur`an dan al-Sunnah.
     Apabila ingin merekonstruksi pendidikan Islam di era modern ini, persoalan pertama yang harus di tuntaskan adalah persoalan “dikotomi”. Artinya harus berusaha mengintegrasikan kedua ilmu tersebut baik secara filosofis, kurikulum, metodologi, pengelolaan, bahkan sampai pada departementalnya. Perubahan orientasi pendidikan Islam harus dilakukan yaitu “bukan hanya bagaimana membuat manusia sibuk mengurusi dan memuliakan Tuhan dengan melupakan eksistensinya, tetapi bagaimana memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dengan eksistensinya di dunia ini [17].Artinya, bagaimana pendidikan Islam harus mampu mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin sehingga menghasilkan manusia yang memahami eksistensinya dan dapat mengelola dan memanfaatkan dunia sesuai dengan kemampuannya. Dengan dasar ini, maka materi pendidikan Islam harus di desain untuk dapat mengakomodasi persoalan-persoalan yang menyangkut dengan kebutuhan manusia, yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, teknologi, seni serta budaya, sehingga mampu melahirkan manusia yang berkualitas, handal dalam penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, unggul dalam moral yang di dasarkan pada nilai-nilai ilahiah sebagai produk pendidikan Islam [18].
       Dengan kata lain pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, akan menghasilkan ilmuan yang tidak hanya unggul dalam ilmu sains akan tetapi juga ilmuan yang tahu posisinya sebagai khalifah di muka bumi, yang bertakwa kepada Allah SWT, serta menjalankan apa yang diperintah dan menjauhkan apa yang dilarang oleh-Nya.
      Dalam kehidupan sosial, institusi pendidikan baik umum maupun Islam, mendapat tugas suci untuk mengemban misi mulia agar membenahi kualitas hidup manusia jadi lebih baik. Suatu misi (risalah) kemanusiaan yang sangat bermanfaat dalam rangka membentuk sikap mental lulusan yang berperadaban dan menjunjung tinggi nilai insani.

C. PENUTUP
      Bahwa Dari pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management), (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas Dengan demikian tujuan pendidikan islam terkait dengan berbagai kebijakan yang pemerintah buat dan harus dijalankan dalam dunia pendidikan pada intinya adalah : terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah.


DAFTAR PUSTAKA


Kurniawan, M. A. (2022). KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DALAM AL-QUR’AN. Al Mumtaz: Jurnal Pendidikan dan Sosial Keagamaan, 1(1), 1-12.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997)
Kurniawan, M. A. (2019). Kehidupan Guru dan Murid dengan Beberapa Aspek dan Karakteristiknya pada Periode Klasik (571-750 M). Jurnal Ilmiah Az-Ziqri: Kajian Keislaman Dan Kependidikan, 15(1), 65-76.
Dunn, William, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press 2003)
Evi’s Blog archive.htmldiakses 18 September 2015
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazaly, (Jakarta: P3M, 1996)
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan pendekatan indisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008)  h.  162
HM. Djumransjah, Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h.  17
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003), h  98.
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011)
Pongtuluran, Aris. Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial ( Jakarta: LPMP 1995)
Rekonstruksi Pendidikan Islam di era Modern, yang telah diterbitkan oleh Harian Serambi Indonesia diakses 18 September 2015
Syafaruddin. Efektifitas Kebijakan Pendidikan ( Jakarta: Rieneka Cipat 2008)
____________



     [1] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 12.

      [2] Syafaruddin. Efektifitas Kebijakan Pendidikan ( Jakarta: Rieneka Cipat 2008), h 75
      [3] Abidin, Said Zainal, Kebijakan Publik ( Jakarta: Suara Bebas, 2006),          h 17
      [4] Dunn, William, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press 2003)
       [5] Evi’s Blog archive.htmldiakses 18 September 2015
       [6] Ali Imron, Kebijakan Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara 2001)
       [7] Pongtuluran, Aris. Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial ( Jakarta: LPMP 1995), h  7
      [8]Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011) , h. 2
        [9] Ibid h 2
       [10]H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan pendekatan indisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008)  h.  162
       [11] Fathiyyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazaly, (Jakarta: P3M, 1996), h. 19
       [12] HM. Djumransjah, Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h.  17
       [13] Muhaiminm Op. Cit h 5
       [14] Rekonstruksi Pendidikan Islam di era Modern, yang telah diterbitkan oleh Harian Serambi Indonesia diakses 18 September 2015
      [15] Ibid
       [16] Ibid
        [17] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003), h  98.
       [18] Ibid, h. 28