Sunday, 17 February 2019
Thursday, 5 April 2018
Studi Kebijakan Pendidikan : Makna, Urgensi Dan
Relevansinya Bagi Pengembangan Pendidikan
Islam
Muhammad Agus Kurniawan
Abstract:
Thoughts on the
development of Islamic education to encourage critical analytical thinking,
creative and normative in the face of various practices and current issues in
the field of education weeks to be studied and analyzed from fondasionalnnya
dimensions so as not to lose the spirit or the spirit of Islam and / fragility
philosophical foundation, as well as the face of the trend. Emphasis on the
importance of students to live by the values of goodness, spirituality and
morality as neglected. In fact the opposite is happening. Nowadays, many
educational institutions have been transformed into industrial business, which
has a pragmatic vision and mission. Education geared to deliver pragmatic
individuals who work to achieve material success and social professions that
will prosperity themselves, companies and countries.
Key Words. Kebijakan Pendidikan, Pengembangan Pendidikan Islam
A. PENDAHULUAN
Islam
sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas,
individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan
kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi
pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi
tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi
dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya
manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Penekanan
kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan,
spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang
terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri
bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk
melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan
materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan negara.
Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi.[1]
Gelar
dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal
yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti
ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang
tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai
individu-individu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan
ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang
sekular.
Dalam
budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi
dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari
hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan
Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka
belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan
antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta
akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang
pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan
integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata
menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.
Tujuan
penelitian ini adalah untuk menggali dan mendeskripsikan kebijakan pendidikan :
makna, urgensi, dan relevansinya bagi
pengembangan pendidikan Islam, juga memadukannya dalam konteks kebutuhan dari
masyarakat secara umum dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan dan sasaran
pendidikan dalam Islam dapat diaplikasikan pada wacana dan realita saat ini.
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Kebijakan Pendidikan
Dalam bahasa Indonesia, kata “kebijaksanaan”
atau “kebijakan” yang diterjemahkan dari kata policy tersebut mempunyai
konotasi tersendiri. Kata kebijakan diambil dari kata bijaksana atau bijak yang
dapat disamakan dengan pengertian wisdom, yang berasal dari kata sifat wise
dalam Bahasa Inggris. Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk
menjelaskan arti kebijakan. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government
chooses to do or not to do).
Kebijakan (policy) secara etimologi
(asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota
(city).
Dalam hal ini, Syafarudin mengungkapkan bahwa kebijakan berkenaan dengan
gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima
pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya [2] Abidin menjelaskan kebijakan adalah keputusan
pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.[3]
Kebijakan
adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang
bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata
nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota
organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku.[4] Kebijakan pada umumnya bersifat problem
solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum dan Peraturan, kebijakan lebih
adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh,
dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi
tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang
diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
Masih banyak kesalahan pemahaman maupun kesalahan
konsepsi tentang kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan kebijaksanaan,
yang maknanya sangat berbeda dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah
kearifan yang dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah aturan
tertulis hasil keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan adalah : (1)
Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda,
(6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang
dicontohkan disini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek
kebijakan. Contoh ini juga memberi pengetahuan pada kita bahwa ruang lingkup
kebijakan dapat bersifat makro, meso, dan mikro. (dalam sosiologi dapat dianalogikan dengan kelompok sosial kecil, sedang, dan
besar) Dalam ruang lingkup pendidikan mikro (sekolah), meso (dinas
pendidikan kota/provinsi), maupun makro (departemen).[5]
Ali Imron dalam bukunya Analisis
Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu
kebijakan Negara.[6]
Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational
policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan
beberapa penilaian atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan
tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat
melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai
pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa
tercapai. Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang
ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar
negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di
Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik
maka kebijakan pendidikan bisa berubah. Ketika kebijakan politik dalam dan luar
negeri, kebijakan pendidikan biasanya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih
luas. Bahkan pergantian menteri dapat pula mengganti kebijakan yang telah mapan
pada jamannya. Bukan hal yang aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih
ingat dibenak kita ada pelajaran PSPB yang secara prinsipil tidak jauh berbeda
dengan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun di pelajari di PMP (sekarang
PKN/PPKN).
2. Fungsi Kebijakan Pendidikan
Faktor yang menentukan perubahan,
pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan
organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar
berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa
keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format
kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf,
dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses
pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai
sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam
membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor
lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output
(keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat
kebijakan. Berkaitan dengan masalah ini, kebijakan dipandang sebagai: (1)
pedoman untuk bertindak, (2) pembatas prilaku, dan (3) bantuan bagi pengambil
keputusan [7]
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan
pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan
dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan
kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan
keputusan pada semua jenjang organisasi pendidikan .
3. Makna Pengembangan Pendidikan
Islam
Istilah pengembangan dapat bermakna
Kuantitatif dan Kualitatif . Secara kuantitatif bagaimana menjadikan pendidikan
Islam lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya dalam
konteks pendidikan pada umumnya. Secara kualitataif bagaimana menjadikan
pendidikan Islam lebih baik, bermutu dan lebih
maju sejalan dengan ide-ide dasar
atau nilai-nilai Islam itu sendiri yang
seharusnya selalu berada didepan dalam merespon dan mengantisipasi berbagai tantangan pendidikan.
Termasuk dalam pengertian kualitatif
adalah bagaimana mengembangkan pendidikan Islam agar menjadi suatu bangunan keilmuan
yang kokoh dan memiliki
kontribusi yang signifikan terhadap
pembangunan masyarakat nasional dan
trans-nasional, serta pengembangan Iptek.
Pemikiran tentang pengembangan
pendidikan Islam mengajak untuk berpikir analitis kritis, kreatif dan normatif dalam menghadapi berbagai praktik dan isu aktual di bidang pendidikan utuk dikaji
dan ditelaah dari dimensi
fondasionalnnya agar tidak
kehilangan roh atau spirit Islam dan / kerapuhan fondasi
filosofis, serta menghadapi
trend. Pemikiran atau teori-teori
pendidikan yang dibangun oleh
para pendahulunya , untuk selanjutnya
dapat:
1)
Memperkaya nuansa
pemikiran dan teori yang ada.
2)
Merevisi dan
menyempurnakan pemikiran atau teori yang sudah ada
3)
Mengganti pemikiran dan teori lama dengan pemikiran dan teori baru.
4)
Menciptakan pemikiran dan teori
yang belum ada sebelumnya.[8]
Dengan demikian pendidikan Islam akan mengalami perubahan , pembaharuan, atau perbaikan yang diikuti dengan
pertumbuhan dan ditingkatkan secara berkelanjutan untuk
dibawa ke arah yang ideal.
Bertolak dari pemikiran diatas, maka pemikiran tentang
pengembangan pendidikan Islam dapat mengandung berbagai makna, yaitu:
1)
Bagaimana mengembangkan
pendidikan Islam sehingga memiliki
kontribusi yang signifikan bagi pembangunan masyarakat dan pengembangan iptek.
2)
Bagaimana mengembangkan
model-model pendidikan Islam yang lebih
kreatif dan inovatif dengan tetap
komitmen terhadap dimensi-dimensi fondasional dan strukturalnya
3)
Bagaimana mengembangkan
pemikiran pendidikan Islam sebagaimana
tertuang dan terkandung dalam literatur
pendidikan Islam.[9]
4. Urgensi Pengembangan Pendidikan Islam
Pengertian Urgensi jika dilihat dari bahasa latin bernam
“urgere” yaitu (kata kerja) yang berarti mendorong…dan jika dilihat dari bahasa
inggris bernama “urgent” yang memiliki arti (kata sifat) dan dalam dalam bahasa
indonesia “urgensi” (kata benda). Istilah Urgensi menunjuk pada sesuatu yang
mendorong kita, yang memaksa kita untuk diselesaikan..dengan demikian
mengandaikan ada suatu masalah dan harus segera ditindak lanjuti. Selanjutnya
dalam kehidupan pribadi atau masyarakat, pendidikan Islam (tarbiyah) menduduki
posisi yang sangat penting. Sebab melalui proses pendidikan pribadi seorang
dapat tumbuh dan berkembang secara baik, sesuai yang diharapkan.[10]
Tarbiyah dapat membentuk kepribadian seseorang selaras dengan nilai-nilai dan
prinsip yang mendasarinya sehingga menjadi kepribadian yang sepenuhnya
mencerminkan nilai-nilai dan prinsip Islam. Seseorang yang telah dididik dengan
pola pendidikan Islam, sikap dan perilakunya akan merupakan refleksi total dari
keutuhan dirinya yang telah tersibghah nilai-nilai Islam. Akibatnya integritas
Islamnya kukuh dan gaya hidupnya Islami. Tidak akan terjadi split personality
(kepribadian pecah) yang mengakibatkan seorang muslim kehilangan kepribadiannya
dan terseret ke dalam arus gaya hidup yang lain.
Pendidikan Islam mengarahkan kehidupan seorang muslim
berkembang dan terus semakin matang. Sikap, perilaku, dan gaya hidupnya
bersifat spesifik islami yang berinteraksi secara posiif, baik internal maupun
eksternal. Sehingga ia dapat memancarkan arus Islam si tengah-tengah
lingkungannya. Ia menjadi manusia yang tangguh yang tidak mudah
diombang-ambingkan oleh berbagai arus kehidupan yang melandanya. Tegasnya ia
menjadi muslim yang muttaqin.
Pentingnya pendidikan telah diungkapkan beberapa tokoh
pendidikan Islam yang mengacu kepada definisi pendidikan Islam, yaitu:
1) Abdurrahman al-Nahlawi mengemukakan bahwa pendidikan Islam merupakan suatu
tuntutan dan kebutuhan mutlak umat manusia, karena (a) untuk menyelamatkan
anak-anak di dalam tubuh umat manusia pada umumnya dari ancaman[11].
2) Muhammad Fadil
al-Jamaly (Guru Besar Pendidikan di universitas Tunisia) mengatakan bahwa
pendidikan adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik
dan yang mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan
dasa r atau fitrah dan kemampuaan
ajarannya (pengaruh dari luar).[12] Esensi pendidikan yang harus dilaksankan umat Islam menurut beliau adalah
pendidikan yang memimpin manusia kearah akhlak mulia dengan memberikan
kesempatan keterbukaan terhadap pengaruh dari dunai luar dan perkembangan dari
dalam diri manusia yang merupakan kemampuan dasar yang dilandasi oleh keimanan
kepada Allah SWT. Pandangan beliau ini didasarkan pada firman Allah SWT yang
artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur.” (QS. an-Nahl: 78)
Firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 78
tersebut mengindikasikan kepada kita bahwa ketika kita dilahirkan tidak
mengetahui sesuatupun. Maka Allah ciptakan pada diri manusia pendengaran,
penglihatan dan hati, ini semua untuk membantu manusia dalam proses pendidikan.
Tanpa melalui pendidikan manusia tidak mengetahui apa-apa. Dengan pendidikanlah
manusia bisa mengetahui tentang segala sesuatu terutama tentang kebesaran Allah
SWT.
Pendidikan Islam adalah untuk membentuk budi pekerti.
Sementara budi pekerti adalah jiwa dari pada pendidkan Islam. Dan Islam telah
menyimpulkan bahwa mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya
dari pendidikan Islam. Iman Al-Ghazali berpendapat bahwa pentingnya pendidikan
Islam ialah usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pendidikan Islam
bukan sekedar mengisi otak dengan segala macam ilmu yang berorientasi
pragmatis, melainkan mendidik akhlak dan jiwa (spiritual), mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci
berlandaskan iman dan taqwa.
Selanjutnya asumsi yang melandasi teori maupun praktik
pendidikan Islam , bukan hanya landasan filosofis yang dijadikan titik
tolak dalam rangka studi dan praktik
pendidikan Islam saja, tatapi masih ada landasan religius/agama maupun landasan
yuridis/ hukum yakni landasan dari perundangundangan yang berlaku[13]
Terkait dengan
penjelasan urgensi diatas pendidikan
Islam memiliki ontologi dalam arti ilmu
hakikat. Kalau kita membicarakan ilmu
hakikat ini sangat luas, apakah hakikat dibalik alam nyata ini, menyelidiki
hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang terbatas oleh panca indera
kita. Hakikat ialah realitas, realitas ialah ke-real-an, real yakni kenyataan
yang sebenarnya, kenyataan yang sesungguhnya, keadaan sebenarnya sesuatu,
bukanlah keadaan yang sementara atau keadaan yang menipu, bukan pula keadaan
yang berubah dan bukan sesuatu yang fatamorgana. Jadi, ontologi pendidikan
adalah menyelami hakikat dari pendidikan Islam, kenyataan dalam pendidikan
Islam dengan segala pola organisasi yang melingkupinya, meliputi hakikat
pendidikan Islam dan ilmu pendidikan Islam, hakikat tujuan pendidikan Islam,
hakikat manusia sebagai subjek pendidikan yang ditekankan kepada pendidik dan
peserta didik, dan hakikat kurikulum pendidikan Islam. Urgensi menunjuk pada
sesuatu yang mendorong, Jadi yang dimaksud sesuatu dalam urgensi tersebut
adalah hakikat dari pengembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Walaupun sebenarnya kajian yang penulis lakukan kali ini
belum mampu mengupas secara mendalam tentang hakikat pendidikan Islam dan pola
organisasi di dalamnya. Oleh karena itu, penting rasanya untuk diutarakan bahwa
masukan, kritik, dari hasil diskusi akan sekiranya membantu dalam penyempurnaan
dari tulisan ini dan akan lebih menyenangkan apabila dalam kritik dan saran
tersebut disertai rujukan yang jelas, yang akan mempermudah dalam pelacakan.
5. Relevansi
Pengembangan Pendidikan Islam
Relevansi adalah sesuatu yang mempunyai
kecocokan atau saling berhubungan. Selanjutnya
Pendidikan Islam adalah sebuah sarana untuk menyiapkan masyarakat muslim
yang benar-benar mengerti tentang Islam. Di sini para pendidik muslim mempunyai
satu kewajiban dan tanggung jawab untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya
kepada anak didiknya, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan
Islam berbeda dengan pendidikan yang lain.[14]
Pendidikan Islam lebih mengedepankan nilai-nilai
keislaman dan tertuju pada terbentuknya manusia yang ber-akhlakul karimah serta
taat dan tunduk kepada Allah semata. Sedangkan pendidikan selain Islam, tidak
terlalu memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman, yang
menjadi prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan inderawi semata [15].
Pendidikan Islam ke depan harus lebih
memprioritaskan kepada ilmu terapan yang sifatnya aplikatif, bukan saja dalam
ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam bidang teknologi. Bila dianalisis lebih
jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan terkotak-kotak
antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi, ada pemisahan antara keduanya.
Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut
andil atau berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya
dengan agama, begitu juga sebaliknya. Agama mengasumsikan atau melihat suatu
persoalan dari segi normatif (bagaimana seharusnya), sedangkan sains
meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya). Sebagai permisalan
tentang sains, sering kali umat Islam Phobia dan merasa sains bukan urusan
agama begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama
yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia
saja. Di sini sangat jelas pemisahan dikotomi ilmu tersebut.[16]
Islam bukanlah agama sekuler yang
memisahkan urusan agama dan dunia. Dalam Islam, agama mendasari aktivitas
dunia, dan aktivitas dunia dapat menopang pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan
hanya sekedar mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat
pada agama lain, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia dan
manusia dengan dunia. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah
kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakikatnya,
membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengatur satu segi, tetapi mengenai
berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil
berbagai aspek itu ialah Al-Qur`an dan al-Sunnah.
Apabila ingin
merekonstruksi pendidikan Islam di era modern ini, persoalan pertama yang harus
di tuntaskan adalah persoalan “dikotomi”. Artinya harus berusaha
mengintegrasikan kedua ilmu tersebut baik secara filosofis, kurikulum,
metodologi, pengelolaan, bahkan sampai pada departementalnya. Perubahan
orientasi pendidikan Islam harus dilakukan yaitu “bukan hanya bagaimana membuat
manusia sibuk mengurusi dan memuliakan Tuhan dengan melupakan eksistensinya,
tetapi bagaimana memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dengan
eksistensinya di dunia ini [17].Artinya,
bagaimana pendidikan Islam harus mampu mengembangkan potensi manusia seoptimal
mungkin sehingga menghasilkan manusia yang memahami eksistensinya dan dapat
mengelola dan memanfaatkan dunia sesuai dengan kemampuannya. Dengan dasar ini,
maka materi pendidikan Islam harus di desain untuk dapat mengakomodasi
persoalan-persoalan yang menyangkut dengan kebutuhan manusia, yaitu
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, teknologi, seni serta budaya, sehingga
mampu melahirkan manusia yang berkualitas, handal dalam penguasaan ilmu
pengetahuan, keterampilan, unggul dalam moral yang di dasarkan pada nilai-nilai
ilahiah sebagai produk pendidikan Islam [18].
Dengan kata lain pendidikan dalam hal
ini pendidikan Islam, akan menghasilkan ilmuan yang tidak hanya unggul dalam
ilmu sains akan tetapi juga ilmuan yang tahu posisinya sebagai khalifah di muka
bumi, yang bertakwa kepada Allah SWT, serta menjalankan apa yang diperintah dan
menjauhkan apa yang dilarang oleh-Nya.
Dalam kehidupan sosial, institusi
pendidikan baik umum maupun Islam, mendapat tugas suci untuk mengemban misi
mulia agar membenahi kualitas hidup manusia jadi lebih baik. Suatu misi
(risalah) kemanusiaan yang sangat bermanfaat dalam rangka membentuk sikap
mental lulusan yang berperadaban dan menjunjung tinggi nilai insani.
C.
PENUTUP
Bahwa
Dari pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan kebijakan dibuat untuk
menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi pendidikan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Di era otonomi daerah kebijakan
strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah
: (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School
Based Management), (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas Dengan
demikian tujuan pendidikan islam terkait dengan berbagai kebijakan yang
pemerintah buat dan harus dijalankan dalam dunia pendidikan pada intinya adalah
: terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi
menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan
kepada Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Kurniawan, M. A. (2022). KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DALAM AL-QUR’AN. Al Mumtaz: Jurnal Pendidikan dan Sosial Keagamaan, 1(1), 1-12.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997)
Kurniawan, M. A. (2019). Kehidupan Guru dan Murid dengan Beberapa Aspek dan Karakteristiknya pada Periode Klasik (571-750 M). Jurnal Ilmiah Az-Ziqri: Kajian Keislaman Dan Kependidikan, 15(1), 65-76.
Dunn, William, Pengantar
Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press 2003)
Evi’s Blog archive.htmldiakses 18 September 2015
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan
al-Ghazaly, (Jakarta: P3M, 1996)
H.M. Arifin, Ilmu
Pendidikan Islam tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan pendekatan
indisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008) h. 162
HM. Djumransjah, Abdul Malik
Karim Amrullah, Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 17
Hujair AH. Sanaky, Paradigma
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003), h 98.
Muhaimin, Pemikiran dan
Aktualisasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011)
Pongtuluran, Aris. Kebijakan
Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial (
Jakarta: LPMP 1995)
Rekonstruksi
Pendidikan Islam di era Modern,
yang telah diterbitkan oleh Harian Serambi Indonesia diakses 18 September 2015
Syafaruddin. Efektifitas
Kebijakan Pendidikan ( Jakarta: Rieneka Cipat 2008)
____________
Subscribe to:
Posts (Atom)